[SONGFIC] Please, Take Care

please take care

Please, Take Care

Scriptwriter: lightless_star ( @fanxingege )| fandom: INFINITE | main cast: Kim Myungsoo /L, You | genre: Romance, Hurt | duration: ficlet | rated: PG |

a songfic based on the song ‘Awanai Tsumori No, Genki De Ne’ by SCANDAL

dedicated to YooraZelo9697 @ dorkiedarkfiction.wordpress.com

hope you like it~!

xxx

aku harus meminta maaf untuk sesuatu yang sampai saat ini belum sempat aku katakan. Minta maaf karena sudah membuatnya takut kehilangan sahabat terbaiknya. 

xxx

I searched for our separated hearts

in the clamor of mornings that come and go

Saying “I’m fine here” as we wait at the signal,

your familiar profile disappears from view

Dia bilang dia akan pergi.

Dan pagi ini, hal yang pertama aku dengar saat aku membuka mata adalah ucapan ibuku kalau baru saja dia datang untuk pamit tanpa mau membangunkanku. Tidakkah dia berpikir kalau aku juga ingin mengucapkan selamat tinggal dan mengantarkan kepergiannya? Ataukah dia menganggapku tak penting?

“Apakah sudah lama?” tanyaku pada ibu. Wanita paruh baya itu menggeleng.

“Baru sekitar lima menit yang lalu,” ucapnya. Aku membelalakkan mata, bergegas bangun dari tempat tidur dan bersiap siap sesegera mungkin. Myungsoo pasti belum jauh darisini, setidaknya aku yakin dia masih menunggu taxi yang menjemputnya datang diujung jalan.

Aku tak mau berpisah begitu saja dengan pemuda itu.

It’s like going back to the beginning,

like not being in the same world

Will I be able to do it?

I don’t want to just before we part

It suddenly becomes reality; the words are caught in my throat

“Myungsoo!” Panggilku. Pemuda berambut hitam itu menoleh, poninya yang panjang hampir menutupi mata karena berantakan. Angin memang bertiup cukup kencang pagi ini, dan aku keluar hanya mengenakan sweater tipis. Bodoh sekali.

Rambut hitamnya terlihat sempurna tertimpa cahaya matahari yang bersinar malu-malu, bibirnya melengkungkan sebuah senyuman saat ia melihat kedatanganku.

“Kau menyusulku sampai kesini?” tanyanya, masih dengan senyum itu. Senyuman yang setelah ini akan sangat aku rindukan.

Aku mengangguk. Dalam hati sangat bersyukur kalau taxi yang ditunggunya untuk menuju bandara belum tiba.

“Kau sama sekali tidak berpamitan padaku, Myungsoo,” ucapku, memandangnya kesal. Laki-laki itu tertawa.

“Aku tak ingin membangunkanmu. Aku senang kau menyusulku kesini. Aku tak mau kita berpisah begitu saja,” balasnya. Kalimat itu menenangkan hatiku. Setidaknya, bukan Cuma aku yang merasa seperti itu.

“Ya. Kita akan terpisah untuk waktu yang sangat lama. Bisa saja kau lupa padaku saat pulang nanti, ya kan?” ucapku bercanda. Dia mengacak-acak rambut cokelatku yang tergerai.

“Aku sendiri tak tahu kapan akan kembali. Tapi sungguh, mana mungkin aku bisa melupakanmu?”

Ada rasa senang dihatiku saat aku tahu kalau aku menempati satu bagian kecil dihatinya. Nama dan memori-memori tentangku ternyata masih tersimpan di gyrus-gyrus otaknya. Namun, bukan dalam posisi yang aku harapkan dulu.

Sekali lagi, aku meyakinkan diriku sendiri bahwa ini sudah saatnya untuk berhenti berharap. Bagi Myungsoo, aku hanya teman akrab yang terus sekelas dengannya sejak SMP dan pulang bersama setiap hari karena jalan menuju tempat tinggal kami searah. Tidak lebih. Bukan orang yang akan ia balas hadiahnya saat white day, bukan orang yang akan ia peluk saat sedih, bukan orang yang akan ia rindukan setiap saat ketika orang itu tak ada didekatnya. Bukan orang yang bisa ia panggil kekasihnya.

A “Take care” for never planning to see you again, even though kindness isn’t what I needed in the end

“Goodbye,” “See you later”; I’ll let go to sever our ties

Hey, I’ll never see you again, so take care

If it seems like the two of us will last until the end

It doesn’t matter if I won’t let go of your hand; I always feel lonely whenever we’re apart

“Jaga diri, ya,” ucap pemuda itu. Tangan kirinya menepuk pundakku, sementara tangan kanan menggenggam jemariku. Aku hanya bisa mengangguk canggung.

Aku menyadari kalau kami akan berpisah sebentar lagi. Aku dan dia yang sudah terus bersama selama bertahun-tahun kini harus terpisah oleh jarak. Jika dulu Myungsoo bisa kutemui tiap hari, sekarang aku hanya bisa menghubunginya lewat telepon atau skype. Itu juga kalau dia sedang tidak sibuk.

Myungsoo belum mengucapkan selamat tinggal. Laki-laki itu masih ada didepanku dan aku tahu kalau ia disana tidak akan lama lagi. Aku menundukkan kepala. Satu persatu hal-hal yang sudah kami lewati kembali terlintas dalam kepalaku seperti rekaman film tua. Membawa perasaan itu bercampur aduk dalam dadaku.

“Hei, jangan sedih begitu.” Suaranya terdengar lembut, tangannya kembali mengusap rambutku akrab. Tanpa ia tahu kalau gadis yang selama ini selalu menemaninya pulang sekolah, gadis yang membawa pulang hadiah-hadiah yang diberikan gadis lain padanya, gadis yang selama ini selalu dianggapnya pengganggu kecil yang jahil, gadis yang selama ini selalu menjadi guru bahasa inggrisnya, gadis yang selama ini selalu ia anggap sahabat dekat, ternyata jatuh cinta padanya.

Aku berpikir kalau kami bisa terus ada untuk satu sama lain sampai kami menjadi tua nanti. Tapi ternyata tidak. Kuliah di Eropa dan tinggal disana adalah keinginan Myungsoo sejak dulu. Dan sekarang, berkat kerja kerasnya ia bisa mendapatkan beasiswa di bidang musik yang disukainya. Ada perasaan senang dihatiku saat mengetahui ternyata sahabat yang selalu aku ajari bahasa inggris saat SMP dulu bisa mendapat beasiswa ke Eropa. Namun sungguh, perasaan sedih itu tak terelakkan. Aku tak tahu apa jadinya jika tak ada sosok Myungsoo dalam hari-hariku setelah ini.

Mungkin jika Myungsoo pergi nanti, aku akan bersahabat dengan rindu.

Who was the one that ended us?

The one who looked away, was stubborn, and walked away was me

Love suddenly prevails and my words are finally voiced

Before it turned red, I called out your name

“Apa kau akan merasa kesepian jika nanti aku tak bisa menemanimu pulang dengan sepeda lagi?” tanyaku spontan. Myungsoo tertawa saat mendengar pertanyaan itu. Mata hitamnya akan menyipit dan gelak tawanya seperti anak kecil. Manis sekali.

“Tentu saja! Selain itu, aku tak akan punya guru bahasa inggris yang cerewet sepertimu lagi,” katanya sembari tersenyum. Aku membalas senyumnya, mungkin lebih terlihat seperti senyuman sedih.

“Apa kau juga akan merasa seperti itu?” lanjut pemuda dihadapanku ini. Mata hitamnya menatapku lembut. Aku mengangguk.

“Tentu.”

“Aku kira kita sudah tidak seakrab dulu,” ucapnya lagi. Aku membelalakkan mata, ia mengerti kalau itu tanda bahwa aku tak paham maksud perkataannya.

“Akhir-akhir ini aku rasa kau mulai mencoba menjauhiku. Kita memang masih sering bertemu, pulang bersama, jalan-jalan di akhir pekan. Tapi aku merasa kalau kita tak seakrab dulu,” katanya. Myungsoo bukan orang yang suka bicara panjang lebar. Kalimat-kalimat barusan sudah cukup panjang untuknya.

“Hingga aku takut kalau kau nanti benar-benar berubah dan aku kehilangan sahabat terbaikku.”

A “Take care” for never planning to see you again

I used to love such tenderness

I need to say it before I say I’m sorry..

Aku menggelengkan kepala. Myungsoo memasang ekspresi bingung. Tidak, aku tak bermaksud menjauhinya, apalagi membuat lelaki itu kehilangan sahabat terbaiknya. Aku hanya melakukan itu agar perasaanku padanya bisa aku redam, tidak terus mengendap semakin dalam, dan sikapku terhadapnya bisa kembali seperti dulu.

Seperti saat kami berdua bisa bersikap apa adanya tanpa takut akan terlihat bodoh dihadapan satu sama lain. Seperti saat kami masih anak-anak dulu.

Namun ternyata usahaku menjauhinya gagal. Aku yang terbiasa melihat Myungsoo ada disekelilingku, merasa kalau ada yang kurang dari diriku jika dia tak ada. Keberadaan pemuda itu sudah menjadi bagian dari keseharianku, dan itu membuatku merasa kehilangan. Hal itu bukan malah menghilangkan perasaan cintaku padanya. Alih-alih hilang, perasaan itu malah semakin kuat dan itu menyiksaku. Hingga saat ini.

Haruskah aku mengatakannya? Haruskah aku meminta maaf padanya?

Meminta maaf untuk sesuatu yang sampai saat ini belum sempat aku katakan. Minta maaf karena sudah membuatnya takut kehilangan sahabat terbaiknya.

“Myungsoo, maafkan aku.”

I’ll never see you again, so take care; you’ll never notice, so take care

More than saying goodbye or see you later, you showed me what was important

A “Take care” for not planning to see you again; I’m sorry for not knowing until you said it

I turned around just before the flickering signal turned red

You waved and smiled again; “Take care”

Pemuda itu menatap heran. Ia sama sekali tak mengerti kenapa aku meminta maaf padanya. Sedangkan aku, tak tahu apa yang akan aku katakan selanjutnya. Bolehkah kalau aku bilang aku menyayanginya? Akankah dia membenciku setelah ini?

“Aku menyukaimu.”

Kalimat itu meluncur begitu saja tanpa bisa aku tahan. Myungsoo membelalakkan matanya karena kaget, namun hanya sesaat. Sebuah senyuman mengembang dibibirnya setelah itu. Tangan kanannya bergerak membawaku ke antara sepasang lengannya. Namun ia tak kunjung membalas pernyataan itu. Apakah ini berarti kami tak punya perasaan yang sama?

“Aku hanya mau mengatakan itu saja, kok. Aku tak berniat menjadikanmu pacarku. Jadi, jangan dianggap macam-macam, ya. Aku sudah menyimpannya terlalu lama dan perasaan itu menyiksaku. Membuatku tak sanggup berbuat banyak didekatmu, dan aku menyatakannya agar aku tak merasa berat lagi. Jadi sikapku padamu bisa kembali seperti dulu. Kau tak perlu takut sahabat terbaikmu berubah, Myungsoo,” kataku cepat dengan nada suara yang mungkin terdengar bawel. Masih dalam pelukannya yang hangat. Myungsoo belum bicara.

“Sekalipun aku tak ada disini, dan aku tak membalas perasaanmu, apa kau masih akan menganggapku sahabatmu?” tanyanya sembari melepas pelukan itu.

“Tentu saja, Myungsoo.”

Bibirnya tersenyum lagi. Kali ini lebih cerah daripada biasanya, rasanya membutakan mataku. Membuatku merasa seakan dikelilingi puluhan matahari.

Sampai kapanpun, aku tetap sahabatnya. Tak peduli sekarang, atau hingga kami tua nanti. Aku ingin selalu ada untuknya, seperti saat ini. Aku sadar, kalau aku tak bisa memiliki Myungsoo sebagai kekasih. Namun, aku tetap saja berharap kalau dia selalu bahagia. Aku ingin dia mendapatkan yang terbaik. Aku ingin Myungsoo baik-baik saja ditempat yang jauh disana. Aku tak ingin sahabatku mengalami sesuatu yang buruk. Aku tak ingin sahabatku sakit.

Taxi yang ditunggu Myungsoo berhenti tak jauh dari kami. Pemuda berambut hitam itu kemudian menoleh, lalu melihat kearahku lagi. Untuk terakhir kalinya, aku bertemu pandang dengan mata hitam itu, dan aku tak akan pernah lupa bagaimana tatapan khas Myungsoo.

“Jaga dirimu, ya,” kataku padanya. Sepotong harapan agar dia baik-baik saja sekalipun tanpa aku. Dia mengangguk. Menggenggam tanganku lagi lalu berjalan menjauh.

Myungsoo sebentar lagi akan pergi dan aku tak punya teman akrab yang bisa aku jadikan tempat bersandar sekaligus aku jahili seperti dulu lagi.

Pemuda itu berbalik, melambaikan tangan dan tersenyum lagi sebelum akhirnya masuk kedalam mobil. Dari jauh aku masih mendengarnya berkata…

“Jaga dirimu.”

-fin-

2 pemikiran pada “[SONGFIC] Please, Take Care

Tinggalkan komentar